HUJAN

on Kamis, 20 Mei 2010
ada yang jatuh
dari atas kepalaku
serupa ribuan jemari
yang menganyam air
menjadi duri

ada yang jatuh
dari atas kepalaku
kemudian merembes
k
e

d
a
s
a
r
kakiku.


19 Mei 2010

BUNGA RAMPAI PUISI ULTAH UNTUK FRAN HY

on Rabu, 19 Mei 2010
DUA ANGSA DI KEPALA [oleh: Windy Aurora Senja]


: Fran HY

Sedari subuh kutunggui dedaunan yang menggigil di depan rumah. Mengering. Embun terhisap senyum ramah ; mentari menyembul di sebalik bukit. Menawarkan hidup yang bergairah. Alur waktu terus memutar jalur. ; berjentera, enggan berbalik mundur. Musim menagih janji semai. Dari kuncup menuai kelopak ranum. Hijau daun perlahan menguning. Mengisyaratkan umur kian udzur. Sebelum tanggal dari reranting, ingin kutuliskan sajak diatasnya terlebih dahulu.

Berkisah tentang senja dan dua angsa di kepala.

; senja

Menjadi labuh raga rapuh, berkeluh kesah akan lelah sesiangan. Para ksatria melepas gendewa dari pundaknya. Sejenak selonjorkan kaki di atas pepasir. Menjemput senja diselingi angin berdesir. Mematahkan pucuk ranting cemara. "senja selalu berharga untuk di nanti" Seperti menunggu kekasih bergaun putih. Menyimpulkan senyum di bibir merah jambunya. Menanti ulur dari tangan ksatria. Serupa sosokmu ; jejaka ranggi.

Yang kini tumbuh dua angsa di kepala. Dewasa tak selalu ditandai seberapa banyak angsa yang membiak di sana. Mereka hanya sebagai simbol atas angka yang tertera. Tutur ramahmu menakhlukan leher angsa-angsa itu. Menunduk. Takjub dengan caramu meramu laku hidup. Berkisar dari petualangan kembara. Kaki-kaki gagahmu menopang badai jentaka. Meloncati curam tebing di sela perjalanan. Ngarai memekik ramai, menggoda genit langkah yang hendak pamit.

Senja mulai beringsut manja di punggung bukit. Mengajak jejak beranjak. Malam menyeret tubuhmu pulang. "untuk hari ini, tibalah di rumah lebih awal!" Agar bisa kusisir rambutmu yang ikal. Memilah tempat tumbuhnya dua angsa di kepala. Biar kepak sayap mereka putih kemala. Terguyur oleh air telaga. Kemudian, akan kutancapkan pijar lilin di atas tanduk mereka. Menjelma hablur binar mata angsa. Sinau yang terpancar menyepuh usia. Mengulang detik pertama saat nafas penuhi rongga. Wujud roh pada raga. ; manusia. Telah genap rupanya, dua angsa berjejer di kepala. Paruh kuningnya mengelumitkan lirih bahasa"selamat mengulang hari lahirmu, kawan. Hibahkan senyummu dengan ikhlas, kelak akan kau capai puas"




Teruntuk Franly-ku yang berulang tahun
"semoga bekalmu kian matang
terunduh dari tungku harapan
setelah menanak mimpi dari jelaga semalam"


w.a.s 1005'10



SEBATANG LILIN DAN SEBOTOL KATA [oleh: Noval Jubbek]


: Fran HY

nyala
kan

lilin

se
bel

um

ro
k

ok
mu!

reguk tarian soda kata, dari dalam mata kita.


selamat ulang tahun saudaraku, Fran

10 Mei 2010 jam 18:22



JIKA KAMU INGIN MENJADI...(2 KEINGINAN) [oleh: Arther Panther Olii]


: Fran HY*


/1/
NINJA

adalah kehampaan yang menyapa pekat malam. tak dekat tak lekat ruang cahaya tuk leluasanya
kau sabetkan samurai rindumu. mana ada ketajaman jika kejam itu merajam dalam dendam yang
tak mau padam di rentang asmara yang retak oleh lara ?

o, lepaskan saja topengmu dan pudarkan asap kabut khilaf di sepanjang tiupan arah angin
kehidupan barumu. ambisi : kau jadikan ingatan yang selalu berbisik dalam pudar
bayang bayang. dan asa terakhir ; mengelupasalah di ekor cahaya yang menanti keinsafan
insan yang lebih mencinta damai daripada perang.


/2/
BATMAN

merupakan kedekatan kelam pada kekeliruan malam menyambut subuh yang teduh. dikiranya akan bergelantungan mimpi mimpi ; dikhayalkannya akan bergelayut harapan harapan. tapi siulan sang kelelawar selalu tentang kematian. dan itu artinya kau harus bangun.

ah, selanjutnya dalam gigil embun yang subur merimbun di pucuk galaumu, kau akan berjalan
di arah yang entah yang bakal lebih sesat. dan ini bukanlah siasat malam. hanya perlu kau
tumbuhkan kesadaran bahwa saat embun terakhir benar benar beku, kau sudah mampu
kepakkan sayap tobatmu menuju berantah yang menolak renta.


Gorontalo, 10052010.



ANTARA FRAN HY DAN PEMILU [oleh: Kang Arief]


Kuperiksa jeli berlipat surat suara
yang didalamnya terselip sajakmu
lekat lekat,sayangku mengusap
detail kuamat,hingga kepucuk ikalmu yang berkeluk

Kukunci wajahmu dibilik sembunyi
tak hendak kupersandingkan
karena kau unik,
dengan madah swarnadipamu

Bungsu,kubahasakan rindu
bersama ledakan mesra yang kulempar
didindingmu
perlahan kian kurasuki hidup
dengan contreng hangat,pada lembar kata pilihan kita

maaf saudaraku

Napas tua ini datang terlambat
terkendala distribusi otak yang merayap
tapi pasti, kusimpan rapat namamu dalam kotak hati
agar tak terusik hujan dan badai lintar sekalipun

Doaku :
Panjang napas dan bersinarlah selalu
bersama pilihan pilihanmu


Ngawi, 11 Mei 2010
Bungsu,met milad ya dan terus meroket (tiup lilinnya)



TENTANG DUNIA, KEHIDUPAN, KITA, DAN KAU, SAUDARAKU... [oleh: Yazid Musyafa]


: Kepada saudaraku Fran HY

I. Tentang Dunia

Sepertinya kita bermabuk pada pada keindahan hidup, saudaraku. Sedang Dunia ini pusing pada kontes warna, menanggung keras pukulan perusak yang ombak. Dalam portalnya, dunia ini tak muda lagi, dimakan usia yang semakin tak karuan, mungkin menuju akhir. Pun telah kita lihat dunia ini melahirkan robot-robot tiada nurani, kehilangan hati, di antara tinggi menjuntainya gedung bercermin angkuh, jalan beraspal serakah, rumah beratap dusta dan hutan tak berambut.

Namun dunia adalah dunia, kita adalah kita, bukan? Dunia pada kehidupannya, dan kita pada kehidupan kita. Maka biar kuceritakan sedikit padamu tentang kehidupan, kita dan kau, sahabat.


II. Tentang Kehidupan

Kehidupan adalah laut, telah pasang surut dan aliran. Hari-hari hanyalah ulangan cerita yang cemas, bintang-bintang luruh sebagai kapas; berpendar, lalu lepas. Ini adalah dunia yang terbangun, kedirian yang soliter. Diserap,sebuah laut tertutup dalam setetes; Hal bersinar dalam cahaya dan dalam kegelapan. Fajar hidup di balik itu. Selamanya, sebelum. Tidaklah ini memiliki batas-batas sebelumnya, tiada batas-batas belakang, mengapung di sungai waktu. Dan ini adalah rahasia keberadaannya. Ini adalah sinar bulan, percikan di batu itu berwarna warna itu sendiri, meski diresapi warna. Lihatlah, pada pada keajaiban yang ditimpa musim semi: Sungai itu, di ketinggian bukit, hijau daun dan tarian musik sendiri.

Dalam hati, setiap atom adalah denyut nadi kehidupan, memanifestasikan dirinya dalam tubuh.
Tidak ada kekhawatiran dengan kalkulus ruang. Karena bukit adalah butiran pasir. Perjalanan adalah awal dan akhir. Bunga bersemi dan menjatuhkan. Karena musim semi tak berlangsung selamanya.

III. Tentang Kita

Semua tentang kita larut dalam sungai waktu, sebuah rantai siang dan malam. Bentang jutaan gigabyte antara kita, serta waktu yang memisahkan kita tak menghalangi kebersamaan kita, untuk mabuk pada arak yang bernama puisi, tawa, canda dan sahabat:

Kita memabuk pada pohon kehidupan, menengguknya menuju keabadian nafas. Kita pun mabuk dengan anggur yang mencerahkan hidup, anggur yang mencandu dunia kita, anggur yang mengalir merdu dalam kotak musik hidup yang kekal, anggur yang mengungkapkan rahasia keabadian itu; Menyingkap rahasia. Karena kita memang bersajak bagi lapar yang abadi.

Sebagai api memekatkan gelombang asap, kita menyentuh hati untuk itu. Dalam gerak, dan tidak bergerak. Pun tetap dalam kesendirian yang bersama. lalu apakah surut aliran nafas kita? Tidak, bukan? Aliran nafas ini seperti pedang, sahabat. Kedirian adalah ketajamannya, kedirian adalah rahasia kehidupan. Ada, tiada jauh dari aku, kau dan mereka: Cerah. Karena cerah adalah yang terlihat dalam bias senyum bintang-bintang dan kilau mutiara dalam diri kita.Sepertinya surga kita ada di dalam kornea mata-Nya.

IV. Tentang Kau

Tentangmu, sahabat: Sepertinya rona warna ceria memoles lekuk wajahmu. Sama seperti benang-benang tawa canda dan ceria yang kau ulurkan pada sebilah tangan sederhana. Lalu kau terbangkan layang-layang rasa itu dibuai angin warna, menembus cakrawala kesendirian, melintasi pelangi harapan. Maka aku pun hanya ingin kau tahu, sahabat: "Itu indah..."

Tiada kau dan aku rasa, rupanya kapal hidupmu telah melewati lautan yang ke-22, setelah melayari riak nyanyian ombak. Maka pada pelangi harapan yang kau tiup, tinggal abu dalam batin yang takkan membatu: Karena yakinku kau kan melayang lebih tinggi, pada cakrawala visi akan yang kau kibaskan dalam kepak sayap-sayapmu. Melingkungi tempat padang hijau itu, sahabat...


Tegal, 120510 : 19.18

TENTANG PATAH HATI

on Senin, 17 Mei 2010
Kolaborasi Arther Panther Olii, kang Arief, Rangga Umara, Fran HY, Noval Jubbek, Lina Kelana, Enno Salsa II, Black Roseheart, Reski Handani & Yazid Musyafa



Sepi. Ruang dadaku semakin senyap, saat kau putus tak lagi mewarna pelangi yang pernah kita rakit, bersama senyum dan munajat. Ronanya membumbung langit , membuaiku dalam akut imaji, melupa waktu berdentang. Hingga dunia luruh ketika kau kata: ” Sayang, kita bukan menakar waktu, pun mengikat benang asmara. Kita bukan sedang merombak tatanan langit, pun bukan menyeret bintang tuk sinari wajahku untukmu. Mengertilah sayang, aku adalah bayangan”. Aku hanya diam, membungkam semua kata yang lahir dari rahim bahasaku. Kau sang mahkota hati, tega menyekap rasaku. Memasungnya dalam lingkaran asa semu. O mata air dari airmata, sekuat lentik tanganmu menaliku, sekuat itupun aku akan menjelma, menjadi sinar yang biasnya terangi jalan anak masa depanku.

O luka! Kukulum nikmat pedih selepasmu, bersama tempias potongan hujan di hati; kian sendu. “Lihatlah.., satu-satu menguning dedaun pada tumbuhan yang dulu kau tanam, lalu berguguran, berkulai diluluhlantakkan perpisahan kita.” Hanya menyisa dedaunan bayangmu yang tak jua retas di secawan waktu.

Terselip di bibirmu kelembutan dan bisa yang serupa hujan: Hujan tak lagi menampakan ceria, ketika embun dengan langkah pelan mencoba menggantikan matahari. "Setiap lembar daun yang jatuh dari mataku, itulah keindahan." katamu. sementara aku terdiam, membiarkanmu memutuskan benang yang mengikat angin asmara itu, kau hanya berkata "Waktu, waktu, waktu.". "Maka minumlah airmataku, wahai waktu. dan jelaskan pada waktumu, bahwa kau adalah waktu. dan aku anak waktu, sendiri" dalam balutan sepi."

Aku ingin memeluk wajahmu di pelupuk bulan. Setubuhi kembali bayang-bayang yang lama hilang. Aku mencoba mengenang seberapa banyak angka bulir airmata mengalir, dari sudut-sudut mata. Setelah perpisahan adalah satu-satunya pilihan. Aku ingin kembali singgahi peraduan bintang, mengais pilinan mimpi-mimpi kita yang belum usai.

Lengang mengendap malam malam. Ada nama itu berdetak di degup jantung. Serupa baru belajar berhitung, kueja sebegitu lembut. Kekasih, aku tak faham isyarat desir, aku tak mengerti ini usik risau. Yang aku tahu, mestinya engkau datang kali ini. Siangi rerumputan yang menjalar diam diam. Mestinya engkau benar benar di sini. ”Kekasih, di ruang mana engkau berpuisi. Masihkah padaku? Atau apa masih tentangku?” Di sini udara menjelma tuba. Menyobek rongga dada. Retaknya kian menganga. Rutuk merembes dari celahnya. Menekuk runtuh tegak tungkaiku. Mestinya engkau datang kali ini, kekasih.

Kelopak matak senjaku memerah, terbakar api yang kau tiup hari ini. Tahukah kau, bila matahari dan bulan memiliki sinar dan ruangnya sendiri? Dan rasanya itulah sebuah alasan mengapa kita tak bisa bersama. ”Terlukakah aku?” Itu tanyamu. Dan kini kuajak kau menatap matahari di atas sana. Lihatlah tubuhnya memerah panas tak menyisa teduh, seperti halnya dulu lagi. Dan itulah perih yang tak perlu panjang kuceritakan padamu. Aku masih bersama malam di mana dulu sarat kudengar tawamu,sambil mendekap tilas bibir yang kau lukis di dinding hatiku, yang di atas merahnya kutulis rindu. Aku masih di gelung bening bening embun, yang berlarian di dedaun talas talas hutan. Mengeja sebaris dan seulas wajah diatas kanvas yang telah carut. Meletak gatra pada gurit yang malam itu pernah kau tulis dengan air mata kita.

Ah… kau masih saja asyik merimba kata menyamak riduku. Tak sadarkah seburat luka selalu kau lukis; Menganga kala puja-puji kau jahit untuknya. Hatimu…, duri dan akar rasaku kau hujam meneracapi bumi. Semipun tiba namun kau hempas aku di sudut biru nan beku.

Lihatlah…, ini tanganku. Bertepuk sebelah lagi. Sekali lagi. Entah, mungkin aku tak sebanding dengan imaji yang kau hampar di separuh malammu. Atau bisa saja, kau memendam sosok lain yang tersimpan di sebalik foto yang kau taruh di bawah bantal tidurmu. Ah! Kini aku kembali menjemput sisa sisa malam sambil sesekali menghujat pagi. Berharap bayangmu memburam. Lalu hilang tanpa ada yang terkenang; Mati!

Kian asing kumaknai diri ini. Luka hati semakin menubir. Bicaraku adalah igauan abjad beku. Tiada laku pun tak berharga di pasar sepi. Selasar jiwa tak lagi berwarna tanpa hadirmu, yang senantiasa menjelma pelangi di tiap petak tanah kerinduan. Kepunahan asmara ini adalah kisah paling lara yang akan abadi, terpelihara di sisa jejak hidupku. Mungkin, esok akan kembali bersua senyum hangat mentari baru. Akan kembali bersitatap dengan sorotan teduh rembulan baru. Tapi, tidakkah ini tetap saja fatamorgana? Karena bintang yang seharusnya menemani tetap saja datang dari langit silam ; dirimu . O, airmata dari mata air lembah kepedihan. Sungkanlah mengalir tuk nyatakan rasa kehilangan ini.

Di ujung pintu waktu dulu, ketika aku mulai mengenal cinta, para Arif mengajariku tentang pahit bencana cinta dan kehilangan. Namun aku berpaling dari mereka. Hingga di ujung pintu waktu kini, Aku seperti burung kecil dari suram lembah jiwa, terbangun di pagi hari, meledak dalam lagu setelah pagi tua, dibumbui pahit anggur cinta. Api mendidih dalam diri seperti dengus sebuah ketel mendidih. Dua matamu tak mengalir bersama air mata: menghujamku dengan anak panah di hatiku yang patah. Aku bersandar seperti pinggiran jejahitan yang lepas dari sutra putih. Air mata mengalir turun di dadaku, mengingat hari bercinta. Namun, apakah terpendar asa dalam keruntuhan ini? Membawakanku pelipur lara? Bukankah penyembuh lara datang mengalir dari air mata? Saat angin pasir menyapu teluk derita, lalu pergi? Hingga pekarangan rumah hati yang tua menjadi sunyi.


150510 : 16.03. Antara Gorontalo, Ngawi, Bandung, Palembang, Malang, Babat, Yogyakarta, Martapura, Padang & Tegal dalam rasa yang sama.

PEREMPUAN MANIS

on Sabtu, 15 Mei 2010
: medina kamil

kau,
senama perempuan manis
hidang senyummu tak kenal amis
menghamparkan surga
mengabarkan tawa

O, engkau penikmat letup
sejuk tatapmu menyisa degup


15052010

UNTUK GADIS PENGETUK PINTU KAMAR

on Jumat, 14 Mei 2010
: mar

pada sunyi yang entah keberapa
kau ketuk kamarku dengan senyum ranum
lalu kau tiupkan pula sepoi pujian untukku
"ah, gerangan apa yang membawamu kesini?"
batinku meraba-raba

kutahu kau adalah kuncup bunga yang mewangi
sering kudiamdiam mencium wangimu
di taman depan kamarmu
kau tahu, harummu selalu menebar disitu

lalu dengan ragu kubalas pujianmu, dengan
terimakasih yang minim namun kujamin
tulus kupetik dari dahan hati
yang selalu kusiram, selalu kujaga asri

lalu kau ketuk lagi pintu kamarku esoknya
kau jamah sunyisunyiku yang lain
yang kusimpan di taman depan kamarku. akupun tersenyum
menatap jejakjejakmu yang kau tinggal di tepian sunyiku
tak ada pujian basi, sedia pula kau beri pupuk penyubur sepi

O kau yang menghiasi taman sunyiku
tak kuragu senyummu yang membius jemariku
untuk sedikit memberi penghargaan yang mungkin tak berarti, sebagai
balasan jejakjejak yang kau tinggal di tamanku

entah kau terima atau kau tepis
penghargaanku ini. terserah kau punya mau
namun di sisa kataku yang semakin menipis
kuharap kau tak henti sisipkan terangmu di gelap sunyiku



~ kertapati ~ 14032010

KIDUNG SAHABAT

on Sabtu, 08 Mei 2010
Kidung Kang Arif, Noval Jubbek, Rangga Umara, Arther Panther Olii, Fran HY & Yazid Musyafa

Tiap anjak jarum jam yang mengantarkan
Waktu pada masa yang tak pernah kembali
Atau ketika sunyi malam hendak setubuhi pagi
Ku tulis nama kalian pada sobekan kenang
Yang tak pernah hilang

Lalu kita saling mendekap,
Pada kekar bahu rasa sahabat yang tegap
Bangkitkan manusia kita pada pijak kata
Di jalan dunia yang kehilangan warna, buram
Di mana semua mesti tertimbang
Dalam timbangan dada dan kening yang hening

Mungkin kita akan sejenak berpaling
Meraih sejumput asa masing masing
Tiada asing ketika tertaut segala
Senyum rembulan dan tawa bintang
Mencipta lembayung kasih di wewujud bayang
Kehendak yang naif menjelma arif
Dalam lagam gaya yang berniscaya ; indah

Dan satu akan tetap digenggam lima jari
Biarpun pundak kadang ditekan mimpi
Ingin merengkuh segala tergantung
Menempuh jalur berbeda busur, tak akur
Disitulah satu akan mengingatkan
Menggeliat hangat dalam genggaman
Menebar ingatan, dimana tawa kita pernah tersimpan

Seperti dedaun meminumi embun
Pada bait-bait rahasia menunas cinta
Biarlah nuansa pelangi mewarna rembulan
Mempertemukan senyum-senyum kita
Hingga gelayut ragu, sengatan canggung
Hilang tanpa bekas di jalanan kata menuju rima

Pada lelayar lautan berkisah, saling
Menggelayut hangat disepoi angin
Mencandai angan, bahkan
Mencubit perak merekah di bibir rembulan
Menepikan kelam yang merudung malam.

Inilah kekidung warna-warni
Nyanyian kelopak di jantung sahabat
Menitik bening, menjernih
Menikmat jelang di taman pagi

*: Sahabat, mungkin tiada pernah kita berpegang tangan, bahkan sekedar saling menyapa muka. Namun kita yakin, bukan? jika Tangan Yang Segala selalu menjabat erat tangan-tangan kita dalam cara-Nya


040510 : 16.45; Menembus batas Ngawi, Malang, Bandung, Gorontalo, Palembang & Tegal

ELEGI LAYANG-LAYANG

Puisi Kolaborasi Arther Panther Olii, Fran HY, dan Yazid Musyafa



Di sini, aku masih saja menggengam
Sebongkah harap yang tersirat
Bersama rangkulan dan senyuman manis
Di setiap sua, di setiap nada sapa

Hendak ke mana ku cari angin?
Jika pada sendiku tertinggal sekat
Hendak ke mana ku jelajahi cakrawala?
Jika dalam rangkaku aku tertawan

Tiada letih kutafsir atmosfir
Menakar benih kasih tersemai
Dari taburan kerelaan di barisan putih awan
Meski sisa-sisa asa terus saja berkejaran

Masihkah angin membelai tipis benangku?
Telah kulabuhkan asa di ujung jemari
Namun kini ragu mengetuk pintu naluri
Lekaslah terbang menjauh, bisiknya mulai mengaduh

Menghambur, kutembus arus sangsi
Kutuju ketinggian jiwa
Dimana matahari membiaskan impian pelangi
Lalu melukis kanvas cakrawala

Dan aku akan terus melayang, menari
Memperjelas jejak hampa dinding langit
Di ufuk senja kupeluk damai
Sebersahaja mungkin kubuat lupa

: mengucap pamit




Gorontalo-Palembang-Tegal, 29.04.2010